Sinopsis buku Pastor Leo van Beurden
Pastor Leo Van Beurden, OSC
Editor : P.Krismastono Soediro
Penerbit : Unpar Press, Bandung
Cetakan 1 : 2020
Hal. : 300
Lahir 26 Oktober 1942. Temannya
perbah bilang, Leo rugi kamu, lahir tanggal 26. Kelebihan satu hari tanggung
sekali. Bagusnya tgl. 25, banyak berkat. Tapi Leo menjawab, saya tidak akan
mendahului Tuhan di tanggal 24, juga tidak mau menyamai Tuhan di tanggal 25.
Saya mengikuti Tuhan di tanggal 26.
Lahir di desa Kerkdriel, Belanda.
Desa ini sudah lama ada, konon sebelum tahun 800 sudah ada.
Lahir dengan nama sangat Panjang yang
memuat 4 nama orang kudus sekaligus : Leonard Johanes Antonius Maria van
Beurden.
Sejak remaja sebenarnya ia sudah
berada dalam spritualitas OSC, ketika lulus SD ia masuk seminari menengah
Kolese Salib Suci, 40 Km dari kampung. Seminari ini termasuk seminari tertua.
Para seminaris pertama Indonesia juga disekolah di tempat ini tahun 1913.
Mengapa ia ingin jadi pastor,
berasal dari motivasi yang sangat sederhana. Ingin, diterima seperti pastor
yang biasa datang ke rumahnya, saat itu Ibunya, Maria van Kessel, akan
mengeluarkan barang-barang istimewa yang tidak pernah ia lihat sebelumnya untuk
Sang Pastor. Ketika Pastor datang, Leo baru tahu bahwa mereka memiliki koleksi
gelas kristal[1]
Seperti umumnya anak-anak, Leo
juga suka usil. Suatu ketika ia menyirami gadis-gadis (yang menggodanya) dengan
air. Dan air itu adalah air berkat. Sialnya lagi, siramannya justru mengenai
Pastor yang sedang lewat. Anak kelas 3 SD itu lalu diskor 3 bulan sebagai
Misdinar. Kelas 5 SD akhirnya dia dipecat sebagai misdinar, karena membuat ulah
pada saat latihan cium salib menjelang Jumat Agung, ia menirukan suara kentut dengan
mulutnya. (dalam pikiran saya, itu ia
lakukan saat temannya membungkuk mencium salib, lalu ia membuat aksi konyol
yang mengundang tawa teman-temannya). Ia dipecat, namun bertemu dengan pastor
asisten SSCC yang ramah dan menarik. Sehingga di seminari ia tertarik masuk
SSCC, namun pastor kepala menghendakinya masuk OSC. Masuk ke Biara Sint Agatha.
[2]
Motivasi para seminaris banyak
goyah ketika hasil Konsili Vatikan II gencar disosialisasikan.[3]
Dari 21 siswa seminaris hanya 3 yang tersisa. Dan Leo merasa tersinggung,
karena pastor kepala selalu bilang begini kalau ada yang keluar : “Huh, yang
baik-baik malah keluar…” artinya….
Ia ditahbiskan jadi imam tgl. 27
September 1970, persis 2 bulan kemudian 17 Nov, ia terbang ke Indonesia
menggunakan pesawat kecil DC-9[4].
Tiba di Jakarta dan langsung menuju Bandung, tepat di malam takbiran penutupan
bulan puasa. Malam itu ia tidak bisa tidur semalaman, terdengan bunyi dentuman
di mana-mana. Kemudian dia diberitahu itu adalah petasa. Tahun 1995 ia memilih
jadi WNI.
Tugas pertamanya adalah di Stasi
Pamanukan. Daerah yang panas, jalannya berlumpur, sering banjir karena luapan
sungai Cimanuk. Namun tidak butuh waktu lama ia menjadi kerasan. Umat mengenangnya
sebagai Pastor yang suka sekali mengunjungi umat. Ia ramah dan periang.
Tugas kedua adalah mendampingi
para Frater di Biara Pandu. Tugas yang cukup berat baginya, terutama karena
merasa belum bisa menjadi teladan religious. Ia melayani di Gereja Pandu, dan
memperlihatkan bakatnya dibidang organisasi dan seni. Ia menghidupkan koor-koor
di lingkungan. Misa jadi semarak, karena tiap lingkungan memiliki kelompok koor
yang bergantian bertugas tiap jadwal misa, termasuk kelompok mudika.
Ia memiliki kepekaan intuisi yang
sangat baik. Mungkin karena disiplin menjaga kehidupan rohani. Suatu ketika ada
umat yang sakit dan berniat hendak melakukan operasi ke Singapura. Ketika
mereka hendak berangkat, Pastor Leo datang, dan mengatakan tidak perlu berobat
keluar negeri. Ia punya rekan yang mengalami sakit serupa dan bisa diobati
tanpa operasi. Umat tersebut menurut dan berobat pada seorang dokter, dan
terbukti anjuran pastor Leo manjur. [5]
Umat
mengenalnya sebagai pastor yang periang, suka mengunjungi umat. Suatu ketika
ada pemberian minyak suci kepada seorang lansia usia 100 tahun. Di rumah itu
ada macan yang diawetkan, ketika ia melihat macan tersebut, ia memperlihatkan
ekspresi terkejut seolah-olah macan tersebut masih hidup. Itu mengundang tawa
para umat, sehingga kemuraman pada acara itu hilang begitu saja.[6]
Kegembiraan
ini pun selalu muncul dalam kotbahnya. Umat menilai kotbah Pastor Leo sangat
renyah, ringan, dan enak ditelinga dan di hati. Singkat, padat, bernas,
sederhana, dan gurih. Suatu ketika ada pemberkatan pengantin di katedral, kebetulan
itu adalah pemberkatan oikumene, kedua mempelai dari gereja yang berbeda. Ia turun
dari mimbar, membawa salib kecil dan disodorkannya kepada mempelai pria, “Mas,
mau disalib?” Anak muda, calon pengantin, yang gembira itu gelagapan dan
kebingngan, “tidak mau,” katanya. Pastor Leo mengangkat wajah dan berseru
kepada umat, “Ia tidak mau disalibkan, mari kita semua pulang.” Grrrr… umat
tertawa serempak. Setelah ia menjelaskan makna salib, dan ia bertanya kembali ke
pengantin pria dan dijawab dengan anggukan berkali-kali. Ketika ditanya ke
mempelai wanita, jawabannya sangat optimis, iya. Model kotbah yang menarik.[7]
Ia memegang banyak tanggung jawab, sebagai
ketua Yayasan, dosen homilietika, pastor di paroki, dan banyak kegiatan
lainnya. Namun di antara waktunya itu ia bisa menyelenggarakan kursus kitab
suci dan menulis. Sampai saat ini ia sudah menerbitkan 10 buku, di antaranya
yang terkenal adalah seri how to enjoy the Holy Bible. Tulislah pengalaman imanmu sendiri, begitu
katanya.[8]
Orang-orang yang
pernah berususan dengannya tentang keuangan, pasti mengenalnya sebagai pastor pelit.
Namun memang diakui ia seorang yang teliti atau jelimet. Semua proposal atau
laporan yang bawa kepadanya akan kembali dengan coretan merah. Demikian pula soal
rupiah, harus jelas betul untuk apanya dan manfaatnya. Namun kalau sudah jelas,
biasanya lancer-lancar saja. Suatu ketika ada pengurus Sie Pewartaan di paroki
hendak mengadakan rekoleksi untuk umat. Begitu sibuknya ia mempersiapkan segala
sesuatunya, namun lupa mengajukan proposal anggaran. Hal itu disadarinya
menjelang pelaksanaan, padahal proposal seharusnya diserahkan 2 minggu
sebelumnya. Namun Pastor Leo ternyata memahami situasinya, serasa lepas dari
tekanan besar tentunya mendapat tanggapan demikian.[9]
Bukti lain
dari kebaikan hatinya adalah perhatiannya yang penuh pada karyawan. Ada
tunjangan kesehatan, pendidikan hingga perguruan tinggi, bahkan cicilan rumah.[10]
Tidak saja
dikenal memiliki kepribadin luwes di kalangan umat, bagi kegiatan Oikumene dan
tokoh Islam, ia juga sangat ramah dan perhatian. Ia bersahabat baik dengan
tokoh muslim yang mengaku pemimpin masjid paling fundamentalis di Bandung.[11]
Bukan saja dengannya namun dengan semua anggota keluarganya, sehingga Pastor
Leo turun hadir dalam pernikahan anaknya di aula Pusat Dakwa Islam.
Demikian pula
dengan gereja Kristen Protestan. Ia malah pernah diundang untuk memberikan
retreat bagi jemaat GKI Jawa Tengah di Lembang. Wajahnya tidak asing bagi banyak
orang, karena rupanya ia disebut mirip Pangeran Charles dari Inggris. GKI
melanjutkan persahabat mereka dengan mengundang Pastor Leo memberikan ceramah
di acara Konven Pendeta GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah, waktu datang Bersama Paston
Anton Bunjamin (sebelum jadi uskup). Kusen pintu dan jendela pun disentuhnya
untuk mengetahui ketebalan debunya.[12]
Ia adalah
pastor kesukaan umat, terutama tentu saja ibu-ibu. Usai misa ia selalu
menyematkan diri untuk bersalaman dengan umat depan gereja. Langkahnya ringan
namun sering tidak terdengar. Suatu ketika ada karyawan yang sedang merokok di Gudang,
tau-tau Pastor Leo sudah ada di belakangnya. Ia kena teguran ketika itu. Namun
Pastor Leo gambang mengampuni. Karywan tersebut diangkat dari tukang
bersih-bersih, pindah jadi Koster Katedral. Soal kebersihan, ia betul-betul
perhatikan.
Di usia 78
tahun dan 50 tahun imamat Pastor Leo tetap bugar. Ia sangat disiplin dalam jadwal
olah raga. Dua kali seminggu ia berenang, lalu jalan santai dan bersepeda
keliling katedral. Seimbang dengan kehidupan doanya yang juga teratur.
Tetap Sehat dan
Gembira Pasto Leo.
[1] Hal. 59
[2] Tampaknya ia memiliki banyak
kenangan istimewa di tempat ini, sehingga Ketika mendiami rumah pertamanya di
Van Deventer, ia merasa kembali ke St Agatha.
[3] Misalnya, di luar gereja pun bisa
selamat, hidup perkawinan semulia hidup selibat.
[4] Hal. 66
[5] Hal 106
[6] Hal.126
[7] Hal. 214
[8] Hal 152
[9] Hal 117
[10] Hal 161
[11] Hal 201
[12] Hal. 170
Comments
Post a Comment